Monday, March 21, 2011

Kisah Koruptor yang Minta Dihukum Berat

MESKI sudah terbukti melakukan tindakan korupsi, namun banyak koruptor dengan segala cara meminta hakim di pengadilan agar menghukumnya seringan-ringannya dengan berbagai dalih tidak bersalah. Tapi lain halnya dengan Endah Rahmatoe, mantan Kepala Desa Klodran di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah yang jadi terdakwa sidang kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Semarang pekan lalu.

Ketika Hakim Ketua Sudjatmiko membuka sidang, terdakwa Endah saat membaca pledoinya, tidak berkelit. Dia langsung mengaku bahwa dirinya adalah koruptor. “Saya adalah koruptor yang telah merugikan negara, masyarakat, keluarga dan diri saya sendiri, sehingga tidak pantas untuk membela diri,” ujar Endah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin pekan lalu.

Endah mengakui kesalahannya. Kalau pun ada anak buahnya yang terlibat, tanggung jawab harus ditimpakan kepada dirinya selaku pimpinan. “Secara formal organisatoris, tidak ada anak buah yang salah, yang salah adalah pimpinan,” ia menegaskan. Menurut Endah, jika ingin menegakkan hukum, semua pihak harus jujur. “Termasuk saya, para pesakitan. Saya harus jujur, nyatanya saya tidak ajur (hancur, red),” katanya.

Mendengar isi pledoi yang tidak biasa itu, belasan pengunjung sidang, jaksa dan majelis hakim terenyak. Dalam pleidoi setebal enam halaman dengan judul “Pengakuan Seorang Koruptor” itu, Endah juga meminta majelis hakim tak usah ragu menjatuhkan vonis yang seberat-beratnya. Ia siap menerimanya. “Hukuman tidak akan menghapus dosa korupsi saya. Mungkin secara hukum positif telah impas, tapi secara moral sampai mati kesalahan ini tetap melekat pada diri saya,” ungkap ayah dua anak itu.

Endah adalah mantan Kepala Desa Klodran, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pria berusia 40 tahun ini duduk di kursi pesakitan lantaran tersandung kasus korupsi penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Klodran tahun 2008 sejumlah Rp 260,9 juta. Kasus itu terkuak setelah ada pengaduan dari seorang warga Desa Klodran kepada Bupati Karanganyar, Rina Irianti. Isi pengaduan itu menyebutkan, Endah telah menyelewengkan penggunaan dana APBDes.

Pengaduan itu ditindaklanjuti Rina dengan memerintahkan agar dilakukan investigasi. Hasilnya, ditemukan laporan pembukuan keuangan fiktif menyangkut sejumlah proyek pembangunan desa yang dananya bersumber dari APBDes. “Setelah kami cek, pembangunan itu tidak pernah dilaksanakan,” kata Kepala Seksi Pengawas Pemerintahan Umum, Inspektorat Karanganyar, Agung Wahyu Utomo, ketika menyampaikan kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Semarang.

Atas perbuatannya itu, Endah dijerat dengan dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 dan dakwaan subsider Pasal 3 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam persidangan, jaksa menuntut Endah dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider dua bulan kurungan. Endah juga dituntut membayar uang pengganti kerugian negara Rp 260,9 juta.

Ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Surakarta, Endah tampak sumringah. Tak ada kesan ia sedang menanggung beban berat, meski terancam dibui satu tahun dan mendapat stempel sebagai koruptor. “Saya malah bersyukur. Dengan cara ini, saya memperoleh ketenangan dan bisa kembali ke jalan yang benar,” kata Endah menjawab pertanyaan wartawan yang dilansir gatra.com. Endah menyadari, korupsi yang dilakukannya merupakan tindakan nista. “Saya sarankan agar koruptor sadar dan yang berniat melakukan korupsi mengurungkan niatnya,” kata Endah.